Usia saya 16 tahun, saat Papa meninggal. Saat itu saya sedang duduk di kelas 3 SMA, Dedek (adik saya nomor 2) kelas 3 SMP, Pipi (adik saya nomor 3) kelas 6 SD, dan Ninid (si bungsu) kelas 4 SD. Menjadi anak yatim di usia kami yang masih kecil sungguh bukanlah perkara mudah. Kami kehilangan laki-laki satu-satunya dirumah ini! Ini menyedihkan.
"Bagaimana rasanya menjadi anak yatim?". Entahlah, saya bingung menjawabnya. Saat pelayat berdatangan kerumah kami, rasa-rasanya setiap orang menatap kami dengan tatapan kasihan, dengan pandangan iba. Rasa-rasanya tatapan itu berbicara, dan mengatakan " Kasihan ya, ntar mereka makan apa?, Ntar gimana sekolah mereka? Ntar gimana tuh tinggal dirumah yang isinya semua perempuan?" Heeeiii.. kami punya Allah! Itu lebih dari cukup. Allah yang akan menjaga kami, anak-anak yatim, anak-anak yang dimuliakan Allah (aamiin).
___________________________________________________________________________
Tulisan ini dibuat karena saya baru dapet cerita dari Mama kalo ada tetangga yang pas Papa meninggal bilang gitu, bilang " Ayuk, gimana ntar anak-anak makan, dsb" pokoknya pertanyaan yang membuat saya
Sungguh, Allah-lah yang membuat kami bisa survive hingga sekarang. Untuk ukuran akal manusia. Mana mungkin seorang single parent yang hanya berwirausaha, yang mempunyai pendapatan tak tentu ditiap bulannya (kadang kecil, kadang besar) bisa membesarkan 4 orang anak gadis seorang diri dan membuat kami sarjana. Mamaku hebat. Mamaku Mama nomor Satu didunia. Papaku juga Hebat, papaku papa nomor satu didunia \^_^/